Menulis dengan Hati, Menyeru dengan Hikmah

~ InspirAzis ~

Menulis dengan Hati, Menyeru dengan Hikmah

Belajar Sambil Bermain ?

Pendidikan negara kita di zaman ini sepertinya butuh dikaji ulang, terutama yang berhubungan dengan metode pembelajarannya. Mengapa? Karena dalam pembelajaran itu metode memainkan peranan yang sangat penting bahkan dalam sebuah kaidah pembelajaran masyhur diketahui bahwa metode lebih penting daripada materi, at-thoriqatu ahammu minal maaddah. Salah satu yang umum dapat kita lihat dalam metode pembelajaran adalah banyaknya permainan yang selalu disandingkan dengan pembelajaran sehingga tidak jalang ditemui istilah belajar sambil bermain.

Islam sebagai agama yang syamil juga ternyata telah membicarakan istilah permainan di banyak tempat baik dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Istilah permainan dalam al-Quran dan al-Hadits disebutkan dengan istilah la’ib (permainan), lahwun (lalai), dan laghwun (perktaan yang sia-sia) dengan segala derivasinya. Di dalam al-Qur’an, paling tidak dapat dijumpai istilah la’bun dengan segala bentuk derivasinya sebanyak 20 kali. Antara lain dalam surat al-Maidah: 57, 58; al-An’am: 32, 70, 91; al-A’raf: 51, 98; at-Taubah: 65; Yusuf: 12; al-Anbiya’: 2, 16, 55; az-Zukhruf: 83; al-Ankabut: 64; ad-Dukhan: 9, 38; Muhammad: 36; al-Hadidi: 20, al-Ma’arij: 42; dan surat ath-Thur: 12.

Setelah dikaji dengan seksama ternyata dari semua ayat-ayat tersebut dapat ditarik benang merah bahwa bermain memiliki potensi makna yang negatif. Apalagi ketika kata bermain sering dirangkai dengan istilah laghwun atau lahwun yang menunjukkan pada kesia-siaan. Kecuali dalam surat Yusuf ayat 12, di mana makna bermain cenderung bermakna bersenang-senang. Namun jika dilihat ayat-ayat sebelumnya dapat dilihat bahwa ada rencana jahat saudara Nabi Yusuf a.s untuk mencelakakannya atas kelalaiannya. Dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa makna permainan cenderung pada pemaknaan yang negatif.

Sementara dalam al-Hadits pun dapat kita temui istilah bermain dengan segala bentuk derivasinya. Dalam kita al’abul athfal fissunnah an-nabawiyah (permainan anak-anak dalam sunah nabawiyah) disebutkan banyak sekali al-Hadits yang menyebutkan tentang permainan di zaman Nabi Muhammad SAW dan bagaimana beliau menanggapi jenis-jenis permainan yang belia temukan pada diri para sahabat rasul yang masih kecil di masanya.

Pada prinsipnya mainan yang diperbolehkan oleh Nabi adalah yang tidak melalaikan. Hal ini ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Aisyah r.a berada di atas Urjuhah (ayunan/junkat-jungkit) di waktu dhuha maka Nabi langsung memanggilnya dan memintanya untuk berhenti. Selain tidak melalaikan, permainan pun hendaknya yang dapat memberi manfaat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dari Robi’ bintu Mu’awwidz bahwa mereka melatih anak-anak mereka berpuasa. Mereka membuatkan mainan dari kapas dan memberikannya ketika anak-anak mereka sedang menangis hingga mereka dapat tetap berpuasa hingga waktu berbuka tiba.

Pada masa kanak-kanak, manusia memiliki daya imajinasi yang tinggi. Terkadang apa yang dipikirkan mereka tidak terpikirkan oleh dewasa. Apa saja bisa dijadikan permainan dengan segala kreativitasnya sehingga permainan itu juga perlu mengandung unsur pengetahuan. Sebagaimana yang disebutkan dalam sunan Abu Daud bahwa Aisyah r.a. pernah memiliki boneka-boneka dan di tengah-tengah bonekanya itu terdapat kuda yang memiliki sayap. Kemudian rasul menanya tentang boneka ita. Aisyah menjawab bahwa boneka-boneka itu adalah anak-anak Aisyah r.a. kemudian ketika ditanya tentang kuda yang bersayap, Aisyah mengingatkan Rasul tentang Nabi Sulaiman yang pernah memiliki kuda yang memiliki sayap. Imajinasi yang luar biasa namun di dalamnya terdapat pengetahuan tentang keluarga juga tentang kenabian Nabi Sulaiman a.s.

Selain ketiga unsur di atas perlu juga dilihat karakteristik benda yang dimainkan. Bahwa benda yang dijadikan permainan hendaknya tidak mengandung unsur haram atau najis. Seperti yang disebutkan dalam yang diriwayatkan dari Ali oleh Ahmad dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ali bahwa cucu Nabi SAW Hasan dan Husain pernah memiliki mainan berupa anak anjing yang masuk ke rumah. Hal ini menyebabkan malaikat Jibril tidak mau masuk ke rumah Nabi karena malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat patung, anjing dan junub. Oleh karena itu mainan hendaknya berupa benda yang halal dan jika pun terpaksa seperti anjing maka tidak boleh masuk ke dalam rumah.

Itulah sedikit kajian tentang permainan jika ditinjau dari pendidikan Islam. Yang mana pada prinsipnya adalah permainan dalam dunia pendidikan merupakan sesuatu yang memiliki kecenderungan yang amat besar kepada hal-hal yang bersifat negatif karena akan mengakibatkan kelalaian. Selain itu permainan sesungguhnya dapat menghilangkan konsentrasi anak pada pelajaran. Salah satu efeknya adalah jika dalam sebuah pembelajaran tidak terdapat unsur permainan maka si anak bisa jadi tidak tertarik pada pelajaran. Pikirannya akan tertuju pada permainan. Oleh karena itu, salah besar jika sebuah permainan harus dicampuradukkan dengan pelajaran. Tidak ada istilah belajar sambil belajar. Kita harus bisa tegas bahwa belajar adalah belajar dan bermain itu tetap koridornya pada sebuah permainan, meskipun mungkin ditemukan pelajaran dalam sebuah permainan.

Pada umumnya dunia anak memang dunia bermain, namun permainan tersebut tidaklah perlu dilembagakan karena secara alami anak akan mencari permainan dengan sendirinya dan di sana dia akan belajar kreativitas dan berimajinasi. Hanya saja karena pada dasarnya permainan memiliki kecenderungan negatif maka permainan itu harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga permainan tidak menjurus kepada kesia-siaan dan kelalaian, memberi manfaat dan pengetahuan serta terhindar dari hal-hal yang dilarang dalam agama.



Depok, Selasa 09 April 2013
Mencuri waktu di sela-sela kegiatan diklat guru-guru Kuttab Al-Fatih
Depok 07-17 April 2013
Share:

0 Comments:

Posting Komentar